BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri
merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring
(bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan
difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau
penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita
difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri
dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan
anak-anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit.
Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri
jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
B. Tujuan
1. Meningkatkan
pemahaman mahasiswa mengenai difteri.
2. Memberikan
pengetahuan pada mahasiswa dalam menegakkan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami difteri.
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Definisi
Difteri adalah suatu
penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas
dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa
infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara
lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium
diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh
terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti
oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh
basil ini. (Acang: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan
pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI:
2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan
oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama
traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya
pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum
dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
B.
Klasifikasi
1.
Berdasar berat ringannya penyakit
diajukan Beach (1950):
a)
Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
b)
Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas
sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi
dengan pengobatan konservatif
c)
Infeksi berat
ü Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan
trakeostomi
ü Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/
nefritis
2.
Berdasarkan letaknya, digolongkan
sebagai berikut:
a.
Difteria
Tonsil Faring (fausial)
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran
akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan
submandibularis, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari
derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralis palatum molle baik
uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan
neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.
b.
Difteria
Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer
gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap
toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran
nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan
dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang
berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak.
c.
Difteri
Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga
merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit,
tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri
pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen
dan berbau.
C.
Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan
tidak membentuk spora.Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau
V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Pada membran mukosa
manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid
saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium
Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar.
Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni
yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Pada pemeriksaan
bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil
difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman,
dan Corynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan
intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang
mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
a.
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah
berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
b.
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat
meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan
saraf.
D.
Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri
sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan
ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini
ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh,
bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah
dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan
saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama
kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi
peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada
lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak
sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan
tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan
difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri
dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan
bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna
abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala
dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan
pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini
dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)
E.
Manifestasi klinis
Gejala klinis
penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di
faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher
sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika
pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas
rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat
swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali
dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti
demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah
bening di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003)
Masa tunas 3-7
hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam
gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala
umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan
anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya
disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau
nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala
akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis
paralysis jaringan saraf atau nefritis.
F.
Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
1. Miokarditis
2. Kolaps perifer
3. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia
dan atelektasis
4. Urogenital : dapat terjadi nefritis
5. Penderita
difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik
G. Pemeriksaan
Penunjang
1.
Bakteriologik. Preparat apusan kuman
difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2.
Darah rutin : Hb, leukosit,
hitung jenis, eritrosit, albumin
3.
Urin lengkap : aspek, protein
dan sedimen
4.
Enzim CPK, segera saat masuk
RS
5.
Ureum dan kreatinin (bila
dicurigai ada komplikasi ginjal)
6.
EKG secara berkala untuk
mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1
perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan
2-3x seminggu.
7.
Tes schick
H. Penatalaksanaan
Pengobatan difteri tidak bisa
dilaksanakan sendiri dirumah , segeralah di rawat dirumah sakit jangan sampai
terlambat. Karena difteri sangat menular penderita perlu diisolasi. Istirahat
total di tempat tidur mutlak diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi
yang lebih parah. Fisioterapi sangat diperlukan untuk penderita yang sarafnya
mengalami gangguan sehingga mengakibatkan kelumpuhan. Tindakan trakeotomi
diperlukan bagi penderita yang tersumbat jalan nafasnya, dengan membuat lubang
pada batang tenggorokan.
I.
Pencegahan
Difteri jenis penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Berikanlah imunisasi pada bayi umur dua bulan sebanyak tiga
kali dengan selang satu bulan. Jenis imunisasi ini termasuk dalam Lima
Imunisasi Dasar Lengkap. Biasanya imunisasi ini berbarengan dengan imunisasi
polio, hepatitis B. Sedangkan imunisasi Difteri tergabung dalam Imunisasi DPT
atau Difteri, Pertusis dan Tetanus. Untuk bayi umur sembilan bulan dilengkapi
dengan imunisasi Campak (Morbili) . Segeralah imunisasi anak di Posyandu,
Puksemas atau pelayanan kesehatan lainnya.
TEORI
ASKEP
A.
Pengkajian
1.
Biodata
2.
Keluhan
Utama
Klien marasakan demam yang tidak
terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3.
Riwayat
Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak
terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4.
Riwayat
Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis
pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek
dengan sekret bercampur darah
5.
Riwayat
Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6.
Pola
Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah
asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien
mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien
mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d. Pola eliminasi
Klien
mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia
7.
Pemeriksaan
Fisik
a. TTV
Nadi
: meningkat
TD
:
menurun
RR
:
meningkat
Suhu
: kurang dari 38°C
b. Inspeksi :
lidah
kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c. Auskultasi :
nafas
cepat dan dangkal
8.
Pemeriksaan
Penunjang
a. Pemeriksaan terhadap apus
tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
b. Untuk melihat kelainan jantung, bisa
dilakukan pemeriksaan EKG.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Sesak
nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan
b.
Kerusakan (kesulitan) menelan dan
nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring
c. Resiko
tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT
d. Ansietas
berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena
pemasangan NGT
e. Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung
C. Intervensi
- Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria
Hasil:
· Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
· Pernapasan tetap pada batas normal
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Oksigenasi dengan pemasangan nasal
kanul
|
Mempertahankan kebutuhan oksigen
yang maksimal bagi pasien
|
2.
|
Tirah baring selama 2 minggu di
ruang isolasi
|
Untuk mepertahankan atau
memperbaiki keadaan umum
|
2.
Diagnosa
keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan dan
nyeri menelan berhubungan dengan
peradangan pada faring
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil:Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan
penambahan berat badan yang memuaskan.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Beri makan melalui Naso Gastric
Tube (NGT)
|
Untuk memberikan nutrisi sampai
pemberian makanan oral memungkinkan.
|
2.
|
Pantau masukan keluaran dan berat
badan.
|
Untuk mengkaji keadekuatan masukan
nutrisi.
|
3.
Diagnosa
keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan
NGT
Tujuan:
Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria
Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti
infeksi karena pemasangan Naso Gastric
Tube
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Bersihkan kateter sesering mungkin
|
Untuk mencegah bakteri masuk ke
dalam tubuh
|
4.
Diagnosa
keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan
karena pemasangan NGT.
Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.
Kriteria
Hasil:
·
Pasien istirahat dengan tenang,
sadar bila terjaga.
·
Mulut tetap bersih dan lembab.
·
Nyeri yang dialami pasien minimal
atau tidak ada.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Beri stimulasi taktil (mis;
membelai, mengayun).
|
Untuk memudahkan perkembangan
optimal dan meningkatkan kenyamanan.
|
2.
|
Beri perawatan mulut.
|
Untuk menjaga agar mulut tetap
bersih dan membran mukosa lembab.
|
3.
|
Dorong orangtua untuk
berpastisipasi dalam perawatan anak.
|
Untuk memberikan rasa nyaman dan
aman.
|
5. Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan
dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung
Tujuan
: Denyut jantung normal dan pasien
tidak gelisah
Kriteria
hasil:
·
bunyi jantung normal
·
tidak ditemukan tanda-tanda payah
jantung.
·
gambaran EKG : tidak ada depresi
segmen ST
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Kolaborasi :Pemberian ADS 40.000
KI secara IM atau IV
|
- Menetralisir Toksin
- Eradikasi Kuman
- Menanggulangi infeksi
sekunder
|
2.
|
Kolaborasi :Pemberian obat sedative
(diazepam/luminal)
|
Untuk mengurangi rasa gelisah anak
|
3.
|
Pantau terus hasil perekaman EKG
|
Untuk evaluasi segala kedaaan dari
miokard
|
D. Implementasi
Disesuaikan dengan intervensi
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteri
adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring.
Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan
kerusakaan saraf dan juga jantung.
B. Saran
Karena
difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada
anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi.
Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10
tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier
difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga
kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang
terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan
karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4
sehat 5 sempurna.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah ini membahas tentang “Penyakit Difteri” dan asuhan keperawatan pada penyakit tersebut.
Kami menyadari mungkin dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan.Namun demikian, kami berharap makalah ini dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi mahasiswa AKPER Luwuk maupun yang bukan
mahasiswa AKPER yang sempat membacanya.
Kami sebagai penyusun dengan senang hati menerima kritik dan saran
khususnya dari teman-teman seangkatan dan juga dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Anak dalam rangka membantu penyempurnaan makalah ini.
Luwuk,
Mei 2013
Kelompok III
|
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar i
Daftar
Isi ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang 1
b. Tujuan
1
BAB II TINJAUAN TEORITIS
a. Definisi
2
b. Klasifikasi 2
c. Etiologi 4
d. Patofisiologi 5
e. Manifestasi
Klinis ......................................................................... 6
f. Komplikasi ...............................................................................6
g. Pemeriksaan
Penunjang ................................................................ 7
h. Penatalaksanaan
.............................................................................7
i.
Pencegahan ................................................................................7
TEORI
ASKEP ................................................................................9
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan
13
b. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
|
DAFTAR
PUSTAKA
ü Biofarma. 2007.Vaksinasi. http:/www.biofarma.com,2007
ü
|
ü Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1
Mei 2010, 16.00 WIB.
ü Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
ü CV Infomedika: Jakarta
ü Raya, Rheny. 2010. Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri.
www.raya.blogspot.com. 15 Oktober 2010
ü Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa
keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta
ü Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi
3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta
ü Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku
Kedokteran: Jakarta
ü Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.
Salemba Medika: Jakarta
ü Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis.
Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta
ü Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta
ü Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak.
Vol.2. Infomedika: Jakarta
ü
Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
|
||||
|
||||
|