Senin, 20 Mei 2013

ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
            Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

B. Tujuan
1.      Meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai difteri.
2.      Memberikan pengetahuan pada mahasiswa dalam menegakkan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami difteri.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Definisi
     Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)
     Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008)
     Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)
     Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

B.     Klasifikasi
1.      Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):
a)        Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
b)      Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
c)       Infeksi berat
ü  Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi
ü Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis 
2.      Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:
a.       Difteria Tonsil Faring (fausial)
            Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

b.      Difteria Laring
            Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif,  suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
c.       Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
            Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.


C.    Etiologi
     Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
     Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
a.        Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
b.       Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.


D.    Patofisiologi
     Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
     Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
     Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
     Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

E.     Manifestasi klinis
       Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
       Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003) 
       Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.

F.     Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
1. Miokarditis
2. Kolaps perifer
3. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
4. Urogenital : dapat terjadi nefritis
     5. Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf     terutama sistem motorik
                            
G.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2.       Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3.       Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4.       Enzim CPK, segera saat masuk RS
5.       Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6.       EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7.      Tes schick

H.    Penatalaksanaan
       Pengobatan difteri tidak bisa dilaksanakan sendiri dirumah , segeralah di rawat dirumah sakit jangan sampai terlambat. Karena difteri sangat menular penderita perlu diisolasi. Istirahat total di tempat tidur mutlak diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi yang lebih parah. Fisioterapi sangat diperlukan untuk penderita yang sarafnya mengalami gangguan sehingga mengakibatkan kelumpuhan. Tindakan trakeotomi diperlukan bagi penderita yang tersumbat jalan nafasnya, dengan membuat lubang pada batang tenggorokan.
I.       Pencegahan
       Difteri jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Berikanlah imunisasi pada bayi umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang satu bulan. Jenis imunisasi ini termasuk dalam Lima Imunisasi Dasar Lengkap. Biasanya imunisasi ini berbarengan dengan imunisasi polio, hepatitis B. Sedangkan imunisasi Difteri tergabung dalam Imunisasi DPT atau Difteri, Pertusis dan Tetanus. Untuk bayi umur sembilan bulan dilengkapi dengan imunisasi Campak (Morbili) . Segeralah imunisasi anak di Posyandu, Puksemas atau pelayanan kesehatan lainnya.


TEORI ASKEP
A.    Pengkajian
1.      Biodata
2.      Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3.      Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4.      Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5.      Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6.      Pola Fungsi Kesehatan
a.       Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b.      Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c.       Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d.      Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7.      Pemeriksaan Fisik
a.       TTV
Nadi           : meningkat
TD              : menurun
RR              : meningkat
Suhu           : kurang dari 38°C
b.       Inspeksi :
lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c.        Auskultasi :
nafas cepat dan dangkal

8.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
b.      Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.

B. Diagnosa Keperawatan
a.       Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan
b.      Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring
c.       Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT
d.      Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan NGT
e.       Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung

C. Intervensi
  1. Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
            Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
            Kriteria Hasil:
·    Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
·    Pernapasan tetap pada batas normal
No
Intervensi
Rasional
1.
Oksigenasi dengan pemasangan nasal kanul
Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien
2.
Tirah baring selama 2 minggu di ruang isolasi
Untuk mepertahankan atau memperbaiki keadaan umum
2.      Diagnosa keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring
            Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
            Kriteria Hasil:Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat   badan yang memuaskan.
No
Intervensi
Rasional
1.
Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT)
Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.
2.
Pantau masukan keluaran dan berat badan.
Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.

3.      Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT
               Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.
            Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso       Gastric Tube
No
Intervensi
Rasional
1.
Bersihkan kateter sesering mungkin
Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh
4.      Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.
            Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.
            Kriteria Hasil:
·         Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.
·         Mulut tetap bersih dan lembab.
·         Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.
No
Intervensi
Rasional
1.
Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun).
Untuk memudahkan perkembangan optimal dan meningkatkan kenyamanan.
2.
Beri perawatan mulut.
Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa lembab.
3.
Dorong orangtua untuk berpastisipasi dalam perawatan anak.
Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
5.      Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung
            Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah
            Kriteria hasil:
·         bunyi jantung normal
·         tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.
·         gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST

No.
Intervensi
Rasional
1.
Kolaborasi :Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau IV
-  Menetralisir Toksin
-  Eradikasi Kuman
-  Menanggulangi infeksi sekunder
2.
Kolaborasi :Pemberian obat sedative    (diazepam/luminal)
Untuk mengurangi rasa gelisah anak
3.
Pantau terus hasil perekaman EKG
Untuk evaluasi segala kedaaan dari miokard

D. Implementasi
            Disesuaikan dengan intervensi
E. Evaluasi
            Sesuai dengan Intervensi dan Implementasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
       Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.

B. Saran
       Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
       Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.







 
 
DAFTAR PUSTAKA


ü  Biofarma. 2007.Vaksinasi. http:/www.biofarma.com,2007
ü 
 
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta
ü  Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
ü  Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
ü  CV Infomedika: Jakarta
ü  Raya, Rheny. 2010. Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri. www.raya.blogspot.com. 15 Oktober 2010
ü  Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta
ü  Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta
ü  Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta
ü  Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
ü  Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta
ü  Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta
ü  Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta
ü  Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta













 



 



 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar